Followers

Sunday, March 1, 2009

www.sinarharapan.co.id dan Pasca-Kolonialisme

 Pasca-Kolonialisme: Tegangan dan ............

Sihar Ramses Simatupang

Pengemban visi setelah kebangkitan sebuah bangsa terbebas dari tekanan kolonialisme, bisa jadi mulai memudar atau masih bertahan, di dalam kenangan generasi terbaru para intelektualnya. Yang pasti, segala tegangan antara yang menguasai dan dikuasai, yang pernah dijajah dan pernah menjajah, yang dominan dan tak dominan, kembali menjadi aktual.
Seperti kenangan lenturnya teks Gabriella Garcia Marquez dalam imaji dan saputan realisme magis, yang menjadi suara di tengah deru napas dan nyanyian kaumnya untuk bersikap “inferior yang agung” di tengah kepitan penjajahan panjang dan kebanggaan penduduknya akan kenangan sejarah Simon Bolivar, juga rasta Bob Marley, hingga coretan kaligrafi Diego Rivera di pojok-pojok kota. 
Tapi, bukan lagi pengharapan akan “juru selamat” individu pengarang yang estetis, gemilang dan pembawa misi, namun kecerdasan yang dibina atas tegangan global dan reaksi lokal yang terus terjaga. 
Pertanyaannya sekarang, apakah masyarakat bisa menghasilkan sesuatu atas dialog, komunikasi yang terus berjalan antara individu-individu di dalamnya, terhadap sejarah yang dinamis dan bergerak? Gerak yang tak hanya membina tegangan antara teks, pengarang dan pembaca karya sastra, tetapi juga antara individu dan masyarakat. Seperti analogi sebuah jaringan, yang dimahfumi, bahwa teks adalah resonator dari masyarakat.
Di tengah bayangan kekhawatiran pada sosok Pramoedya Ananta Toer yang genial di dalam sejarah sekaligus bersahaja di dalam bahasa yang realis, sosoknya bisa jadi bukan sebuah sintesis atas masyarakat dan bangsa Indonesia pasca-penjajahan, namun bisa terdengar hingga ke seantero internasional lewat corong karyanya atas peradaban sekaligus kegusaran sebuah bangsa. Seperti tegangan atas tesis-antitesis yang terus terjadi di antara masyarakat dan sejarahnya, juga reaksi dari kenangan penjajahan dan serangkaian keyakinan tentang kebangkitan berlokalitas, kewajaran bila prasangka-prasangka itu mulai menyodorkan nama dalam bayangan manusia-manusia Indonesia terhadap kehadiran Sitor Situmorang, Rendra, Ahmad Tohari, Iwan Simatupang, Budi Dharma hingga Kuntowijoyo dan YB Mangunwijaya. Nama yang tentu saja, tak lepas dari substansi dan tematik karya mereka yang lokal atau global; hingga ambigu.
Seperti tegangan antara ideologi mainstream di dalam sejarah yang belakangan bisa bergeser pada “kemesraan yang semu dan bisa berbahaya”, napas generasi pengarang di Indonesia, jelas akan berbeda dengan generasi pendahulunya. Antara realitas dan “realitas semu” produk dari citra dan distorsi, juga keyakinan bahwa Indonesia “ada” di antara negara-negara lain yang juga “ada”, hubungan antara teks, pengarang dan bangsa, kembali menciptakan tegangan. 
Berpilin-pilin dengan kehadiran sejarah, bangsa-bangsa lain telah membuat dialog dengan fakta sejarah bangsanya; antara generasi tua para samurai dan restorasi Meiji penanda kebangkitan Jepang; antara tsar, bolsevik-proletar hingga perpecahan negara Rusia dan liberalisme meretakkan sendi bangsa ini, hingga laboratorium besar China-Hongkong dalam peradaban yang bergeser cepat. 
Di Indonesia, sekalipun manusianya disodorkan fakta lama tentang lokalitas dan fakta baru bahwa dia adalah bagian dari global; kenangan wibawa Majapahit dan Sriwijaya dijadikan kebanggaan sekaligus dicurigai, inferioritas tak hilang usai penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa – sich! Belanda – lalu ideologi nasionalis-agama dan sosialis yang membayang, juga rezim otoritarian yang barusan usai, ditambah pasar bebas yang terjadi begitu cepat dan tiap individu di Indonesia terhipnotis oleh wujud “sebuah rumah yang terbuka dan menerima banyak tamu”. 
Di dalam kondisi sekarang, ada karya-karya dari generasi yang muncul di tengah keyakinan pada gelora pemikiran “pusat dan pinggiran yang sebaiknya usai”, “negara dunia ketiga, kedua hingga pertama” yang katanya bisa terselesaikan lewat kebersamaan atau jurus Jalan Ketiga (Anthony Giddens). Namun, seperti filosof yang dekonstruktif seperti Paul-Michel Foucault, Jacques Derrida, hingga Lyotard kegamangan beberapa generasi lain terhadap “beberapa nubuat para pemikir dan perancang global” seperti John Naisbit dan Francis Fukuyama –nama yang disanjung sekaligus dicurigai.
Bukankah generasi dengan pandangan pasca-struktur yang “banyak varian dan berusaha luput dari totalitarian” harus mengakui pandangan generasi yang masih membina warisan dari peradaban pemikiran “terstruktur”? Seolah di antara keduanya berusaha menghasilkan tesis lain atas tesis-tesis yang pernah berceceran dan berlompatan. 
Di sisi lain, dinamika yang berhenti pada pandangan pasca-struktur, tak ingin terpinggirkan sekaligus tak ingin terpusat, dalam eksistensi sekaligus status teks dan keberadaan komunal para senimannya, malah mengarah ke pusat pemikiran!
Menghindar dari tegangan teks-pengarang-masyarakat, tetap merupakan kekeliruan. Karena penolakan atas “teks-teks yang otonom” tak hanya bisa dilakukan pada karya sastra melainkan juga pada pengarang yang tertutup. Pengarang yang asosial.
Benar bahwa teks karya sastra merupakan sebuah dunia yang penuh tegangan dengan pengarang; teks tak lagi sekadar penciptaan bahasa dari pengarang, tapi juga berkehendak karena merupakan wilayah imaji yang memberikan informasi baru buat pengarangnya; seperti permainan bahasa – banyak benda di dalam kotak Pandora.
Tapi jangan dilupakan bahwa pengarang adalah satu di antara pengarang-pengarang lainnya, individu merupakan bagian dari individu-individu yang lain; ada dialog, perenungan, penyelaman sekaligus pembacaan atas keadilan sosial pun layak di lakukan. Adalah aneh bila memilih sikap asosial, yang lepas dari kondisi penjajahan beras impor yang masuk ke Indonesia, soal harga cabe melonjak tinggi, mesin pemecah padi yang minim di wilayah pedesaan, kebakaran hutan, melonjaknya harga minyak dan bensin.
Karena bila hal itu berhenti, maka yang terjadi adalah “teks dan pengarang yang seolah punya kehendak”, namun sesungguhnya “mereka” berhenti terhadap serangkaian “mereka” yang lain: sejarah, individu-individu, suku-suku, pulau-pulau hingga negara-negara. Indonesia bagian dari dunia dan desa saya bagian dari Indonesia, dunia adalah desa lain di luar desa saya. Mirip pameo: Jangan cuma tanyakan apa yang dilakukan karya sastra terhadapmu, tapi tanyakan juga bagaimana engkau dalam berbangsa, berdesa dan berdunia! n

No comments: