Followers

Sunday, March 1, 2009

Pasca-kolonialisme oleh Fajar dalam Kompas

Petikan tulisan Fajar dalam Kompas 2007

Dari kritik yang dikemukakan oleh para sineas muda ini, menjadi semakin menarik untuk melihat bagaimana sebenarnya representasi pascakolonial masih ada dalam slide-slide film Indonesia sebagai negara bekas jajahan.

Kajian mengenai pascakolonialisme (postcolonialism) sendiri telah banyak dilakukan oleh para peneliti yang berasal dari Dunia Timur, baik mereka yang telah berimigrasi ke negara-negara Barat, yang notabene merupakan eks kolonialis, seperti halnya Salman Rushdie yang bermigrasi dari India ke Inggris dan Edward W Said yang bermigrasi dari Palestina ke Amerika Serikat maupun yang tetap berdiam di negara-negara di belahan Dunia Timur, seperti Pramoedya Ananta Toer yang tetap tinggal di Indonesia.

Salman Rushdie pernah mengemukakan gagasannya bahwa telah terjadi bentrokan kultural dalam masyarakat India, sebuah dilema subyek kolonial yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia ketiga lainnya. Bentrokan budaya yang dikatakan oleh Salman Rushdie di atas pada kenyataannya banyak menimpa negara-negara lainnya, termasuk juga Indonesia. Kritik

Pada intinya, kritik para pemikir pascakolonialisme adalah bahwa setelah para kolonialis angkat kaki secara administratif dan politis, bukan berarti pengaruh mereka akan ikut hilang juga, tetapi pada kenyataannya secara kultural para eks kolonialis ini masih memiliki pengaruh. Premis yang mendasari pemikiran pascakolonial dapat dilacak dari teori ketergantungan (dependency theory) yang banyak dilontarkan oleh para pemikir dari Amerika Latin. Menurut Ali Mohammadi proses dalam pascakolonialisme yang seperti ini disebut sebagai cultural imperialism atau cultural dependency (Mohammadi dalam Downing [ed], 1990 : 270).

Jika kita melacak lebih jauh, tesis para penganut teori ketergantungan banyak berutang pada Karl Marx dan Frederick Engels, termasuk dalam kaitannya dengan ekonomi politik. Dalam pandangan Marx dan Engels, ide-ide dari kelas berkuasa akan selalu menjadi ide- ide yang berkuasa, maksudnya akan selalu menjadi wacana dominan dalam satu masyarakat. Misalnya, kelas yang menguasai kekuatan material (material force) dalam masyarakat, pada saat yang bersamaan akan menguasai kekuatan intelektual (intellectual force).

Menurut pandangan Marx dan Engels di atas, kelas yang menguasai alat-alat produksi secara bersamaan juga akan memiliki kuasa atas produksi mental. Dalam konsepsi Marxisme klasik, ada dua hal dalam yang memengaruhi perkembangan masyarakat, yaitu yang pertama adalah basis (base) dan yang kedua adalah superstruktur. Basis yang dimasudkan oleh Marx adalah corak produksi dari suatu masyarakat, sedangkan superstruktur dapat berbentuk ideologi, politik, budaya, dan sebagainya.

Fajar Junaedi Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

No comments: