http://portal.unesco.org/culture/en/files/30297/11942616973cultural_stat_EN.pdf/cultural_stat_EN.pdf
SALORan SENI is dedicated to writings by Dr.Zulkifli bin Mohamad(Zubin Mohamad) and also others. Also serves as notice board for arts events. He has contributed to many journals including Kakiseni.com, NST, Malay Mail, Jakarta Post, Djakarta, E-ASEAN News, Jakarta-Java Kini and KOSMO. Zubin Mohamad is now writing for www.themalaysianinsider.com in Bahasa Malaysia and English.
Followers
Wednesday, February 24, 2010
Politik Ruang, Bali Conference, 2000
Istana, Pasar, Desa dan Jalanan
Dahulu, kami selalu menemukan ruang-ruang untuk menciptakan teater mini milik kami sendiri. Saya ingat, kami biasa berkumpul di depan rumah tua yang tidak ditempati, memanfaatkan beranda dan tangga batu sebagai bagian dari panggung. Sebagian dari kami memerankan dan sebagian lagi memutuskan untuk jadi penonton, duduk di lantai menghadap tangga. Kami menari, menyanyi, memainkan upacara-upacara perkawinan, kelahiran dan kematian. Kadang-kadang kami bahkan memainkan wayang kulit, dengan membuat wayang-wayang sendiri, menggunakan sebuah meja makan sebagai panggung teater dan sprei putih sebagai layar. Semua ruang-ruang pentas ini menghilang tepat waktu kami dipanggil untuk makan malam. Pada hari-hari lain, kami menggunakan ruang-ruang yang berbeda, tapi kenangan terhadap ruang-ruang istimewa tersebut akan selalu ada di sana. Bukan saja kenangan akan sebuah ruang yang nyata, tapi tentang apa yang diambil dalam ruang itu.
Ruang lainnya yang menarik adalah pasar akhir pekan di depan rumah, yang berubah jadi lapangan bola basket atau bulu tangkis pada suatu malam atau menjadi pentas pertunjukan wayang kulit pada malam lainnya, atau juga pelataran ronggeng (tari pergaulan Melayu yang dimainkan di halaman) pada hari besar lainnya. Di beberapa desa tetangga, mereka mendirikan sebuah bangunan khusus dan menyebutkannya “balai serba guna” dan tak banyak yang terjadi kemudian. Hal yang sama terjadi pada pasar gelap kami ketika kantor distrik memutuskan untuk membangun tempat resmi seperti balai serba guna. Semuanya hilang, hanya bangunan yang tersisa. Mengapa peristiwa-peristiwa ini hilang bersamaan dengan menjadi formalnya ruang? Barangkali ini benar-benar nyata dalam kasus kota-kota di Asia. Pada saat yang bersamaan kita menginginkan peristiwa dan sekaligus ruang yang akan dikenal secara resmi. Atau ini sekedar kebetulan ketika apa yang kita namakan komunitas kebudayaan hilang bersamaan dengan munculnya teknologi modern seperti televisi, gedung bioskop dan lain sebagainya.
Ruang dan Makna
Ruang adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat semua objek nyata dan bergerak, adalah jarak antara dua objek atau lebih, wilayah atau isi, seperti ruang-ruang terbuka misalnya dataran yang belum dibangun, tempat atau wilayahayang terbatas atau tidak didiami, juga merupakan sebuah periode masa yang dibentuk dengan ruang-ruang teratur di tengah-tengahnya. Ruang memiliki peristiwa dan masa beserta kenangan dan sejarahnya sendiri, terhapus dan tertulis kembali, berulang-ulang. Yang tersisa adalah lapisan tertinggi atau peristiwa yang paling terkesan. (Noguchi, 1994)
Makalah ini memandang ruang-ruang dan ekspresinya dari perspektif historis, budaya, komunitas, tradisional, modern. Juga akan membicarakan lebih jauh lagi mengenai ruang-ruang resmi kenegaraan fungsi serta ekspresinya, demikian juga dengan ruang-ruang tidak resmi dan tidak representatif dari ruang resmi tradisional, ruang publik kontemporer, ruang-ruang konvensional dan modern. Secara tradisional, ruang-ruang terbagi ke dalam tipe-tipe utama: ruang-ruang kerajaan atau kenegaraan atau politik, ruang-ruang dagang dan ruang-ruang komunitas. Dua tipe ruang yang pertama telah didiskusikan Anthony Reid dalam Southeast Asia in Age of Commerce 1450-1680. Ruang politis jadi tampak seperti ini:
Dengan mementaskan perayaan-perayaan luar biasa yang didalamnya terdapat ribuan orang berpartisipasi, pemerintah sepenuhnya sangat menunjuk dirinya sendiri sebagai titik tumpu supernatural keliling yang panggungnya diputar. Festival-festival kerajaan dan keagamaan memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk memperlihatkan dirinya sendiri di hadapan rakyat dalam seluruh kekuasaannnya, dengan para anggota istana, pegawai, prajurit, pengikut dan bahkan orang asing; semuanya menentukan tempatnya sendiri di dalam perayaan. Perayaan-perayaan termasuk: penobatan keluarga kerajaan, pernikahan, penguburan, ritual-ritual pendewasaan, festival-festival religius tahunan, upacara-upacara dan festival-festival untuk menjaga kesuburan dan keselamatan negara…
Pasar dideskripsikan Reid sebagai berikut:
Banyak pasar tumbuh sebagai bagian dari festival-festival besar. Semacam perhimpunan kuat masyarakat yang di dalam diri mereka sendiri terdapat sebuah jaminan ramainya perdagangan makanan dan esensi-esensi lainnya. Hal ini dimungkinkan ketika rakyat kota memanfaatkan pasar-pasar ini untuk membeli kemegahan mewah tahunan untuk tahun depan. Pemunculan periodik mereka di kota juga dapat menjadi kesempatan untuk menghadirkan upeti dan hasil panen yang wajib dibagi pada saat perayaan-perayaan atau festival-festival keagamaan di akhir masa panen padi…
Ruang komunitas tradisional, dapat termasuk Ruai, rumah panjang Dayak di Kalimantan. Seperti yang digambarkan Charles Hose dalam The Natural Man (1988), Ruai adalah ruang tamu terbuka dalam rumah panjang.
Rumah panjang umumnya terdiri dari beberapa kamar atau rumah berjumlah ganjil (lebih dari lima dan bahkan sampai dua puluh lima atau lebih) bersambung dengan rumah di tengah yang merupakan rumah kepala suku. Rumah panjang dianggap sebagai ruang politik dalam komunitas tradisional. Ruai seringkali digunakan dalam Gawai (festival-festival panen), kelahiran, kematian, pernikahan, menerima tamu dan bersuka ria. Sering kali, upacara akan dimulai dari rumah kepala suku dan kepala suku bahkan akan pertama kali menari untuk memulai perputaran bola.
Perubahan Ruang
Akibat kolonialisasi, modernisasi dan urbanisasi, ruang-ruang dan strata ruang-ruang tersebut di negara-negara Asia terutama Asia Tenggara, berubah bentuk, fungsi dan ekspresi. Istana Sultan Kutai di Kalimantan Timur, misalnya, berubah menjadi kantor administrasi Belanda selama masa-masa kolonial. Bersama kemerdekaan, kantor itu berubah menjadi kantor gubernur. Bersama industrialisasi, berubah menjadi museum, dan bersama turisme dan penelitian budaya, Sultan Kutai mengunjungi istana itu dan merayakan hari ulang tahunnya di sana. Barangkali semua itu sangat aneh baginya, karena beliau tidak pernah tinggal dan merayakan ulang tahunnya di sana sebelumnya.
Sanam Luang (lapangan kenegaraan), sebuah ruang terbuka di depan Istana Agung di Bangkok, pada saat ini, dari sebuah lapangan bermain layang-layang pada musim berangin, dengan orang-orang bertebaran di sekelilingnya berpiknik setelah melewati hari kerja yang melelahkan, berubah menajdi lapangan lain untuk permainan-permainan cinta, romansa, pesona dan prostitusi, kelak pada malam hari. Ketika malam hampir larut, halaman yang dinaungi pohon-pohon rimbun tersebut menjadi tempat bagi plra tuna wisma. Kadang-kadang tempat itu menjadi tuan rumah upacara keselamatan anggota kerajaan seperti misalnya perayaan Ulang Tahun Raja dan Hari Cocok Tanam dan Kerajaan. Di sekitar ruang terbuka ini, terdapat beragam ruang kenegaraan lainnya seperti Museum Nasional. Galeri Nasional, Universitas Silapakorn, Universitas Thammasart, Gedung Teater Nasional, Sekolah Tinggi Seni Drama, Hotel Royal (hotel pertama di Bangkok) dan kantor-kantor pemerintah. Ruang mungkin bermakna satu hal bagi pemerintah dan lain hal bagi masyarakat. Yang terpenting ia menyatakan pada kita bahwa ruang ini membebaskan dirinya sendiri selama berabad-abad lampau.
Richard Engelhart, Direktur UNESCO untuk Asia Pasifik, berkedudukan di Bangkok, menyinggung bahwa Sanam Luang dulu merupakan pasar akhir pekan di Bangkok, mungkin lima belas tahun yang lalu. Kandang-kandang dibangun di sekitar lapangan, dengan ruang di tengah yang menjadi ruang bermain untuk perlombaan-perlombaan kompetisi kicauan burung di pagi hari, arena-arena tinju, permainan layang-layang di waktu senja dan pertunjukan-pertunjukan menarik yang dipentaskan pada malam hari. Hal ini dikonfirmasikan oleh seorang teman Thailand yang telah menetap di New York, menceritakan tentang masa kanak-kanaknya kepada saya, pergi mengelilingi pasar akhir pekan di Sanam Luang, menonton pertunjukan-pertunjukan dan beristirahat menuju Hotel Royal dengan keluarganya untuk mengudap limun dingin. Pada Senin pagi, lapangan kembali seperti biasa, tanpa jejak-jejak kejadian selama akhir pekan. Kini pasar akhir pekan telah pindah ke Chatuchak, barangkali merupakan pasar terbesar di dunia, menarik minat ribuan orang selama akhir pekan. Dikelola oleh Bangkok Metropolitan Authority (BMA). Saat ini dipromosikan oleh Tourism Authority of Thailand (TAT) sebagai salah satu atraksi khusus Bangkok yang menjual apapun, dari pasir sampai patung-patung. Bangunan pasar berdiri di sana selama tujuh hari dalam sepekan namun ia hanya menjadi ramai selama Sabtu dan Minggu. Sesuatu yang hilang dalam pasar akhir pekan adalah seni pertunjukan, sebagian disebabkan waktu, karena buka di pagi hari dan tutup sekitar pukul enam atau tujuh malam. Chatuchak juga bukan semacam tempat lingkup bertetangga, melainkan sekedar pasar, sementara Sanam Luang lebih dari sekedar pasar, ia merupakan sebuah tempat yang dikelilingi orang-orang nyata termasuk para seniman. Mungkin akan ada pertunjukan-pertunjukan di Chatuchak di masa yang akan datang.
Di masa lalu, pertunjukan-pertunjukan dilakukan bersama-sama oleh para penari, musisi dan tukang obat dalam lapangan pasar untuk menghibur para pedagang, saudagar dan publik serta sekaligus mendatangkan uang bagi mereka sendiri. Sangat sering, para seniman pertunjukan ini merupakan pengembara-pengembara dari tempat-tempat lain dan bukan kelompok seniman istana. Selama dua tahun terakhir, The European Union di Bangkok telah menyelenggarakan Teater Jalanan di dekat Tha Pra Chan, mengumpulkan berbagai kelompok teater yang datang dari Eropa untuk melakukan pertunjukan-pertunjukan di jalan-jalan lama di Bangkok. Mereka pasti telah terilhami oleh Phra Atit Road Festival yang pertama kali diselenggarakan oleh Hemlock Cafe; Gallery, mengumpulkan para seniman, para l lusan Universitas Silapakorn dan seniman-seniman pertunjukan dari daerah sekitarnya. Yang menarik adalah menyaksikan pertunjukan-pertunjukan yang dilakukan oleh beragam seniman Thai. Beberapa tahun yang lalu, kita menyaksikan mahasiwa-mahasiswa melakukan pertunjukan-pertunjukan sebagai semacam protes terhadap pemerintah. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia, Thailand dan Filipina dikenal dengan hal ini. Mereka memilih ruang-ruang untuk demonstrasi dan drama mereka.
Akhir-akhir ini, BMA terinspirasi untuk membuat sebuah festival jalanan dengan menutup Maitri Chit Road dekat kawasan Pecinan di Bangkok. Mereka menyewa seorang konsultan sebagai penyelenggara tapi ini berakhir sebagai pasar akhir pekan. Banyak pengendara sepeda motor mengeluh tentang penutupan jalan-jalan dan kemacetan lalu lintas. About Cafe Gallery, dikenal karena kegiatan-kegiatan trendi dan perayaan-perayaannya, telah terjebak dengan semua ini, jadi harus mengubah pintu masuk biasanya (syukurlah karena memiliki pintu masuk samping) dan terperangkap di tengah-tengah kebisingan musik jalanan. Bagaimana menyesuaikan dengan semua ini? Apakah kita melakukan pendekatan dengan semua hal ini secara tepat? Atau apakah kita telah dengan mudah terpesona dengan lembaga kota yang menutup jalan bagi para pejalan kaki tanpa memikirkan akses dan tempat parkir bagi para pengunjung? Meskipun pertunjukan di About Cafe; memiliki banyak penonton, sebagian besar masyarakat berbalik menghindari kemacetan lalu lintas dan menghilang di rute-rute langsung. Meskipun pertunjukan seharusnya terbentuk olah kebutuhan-kebutuhan publik, pengelolaan pertunjukan merupakan hal yang krusial. Tidak mudah untuk menyesuaikan dengan ruang non-konvensional, baik bagi ruang itu sendiri maupun penonton. Terutama sewaktu penonton digabungkan dengan berbagai persepsi, para seniman pertunjukan perlu memiliki sikap yang tepat terhadap ruang dan penonton.
Membangun Ruang
Sejak masa pemerintahan Raja Chulalongkorn, pertunjukan-pertunjukan dramatik Thai disajikan baik di atas pentas terbuka maupun panggung temporer, dengan atau tanpa atap, dibangun pada lokasi-lokasi festival, pekan raya, penguburan atau upacara-upacara atau acara-acara sosial lainnya. (Rutnin, 1996)
Menurut Mattani M. Rutnin, panggung-panggung temporer ini telah disinggung sejak awal periode Bangkok sebagai ‘Rong Lakhon’ (gedung teater). Hanya pada akhir masa pemerintahan Raja Chulalongkorn terdapat beragam gedung teater pribadi yang dibangun dalam istana-istana para pangeran dan putri dan rumah-rumah megah yang mewah milik para aristokrat. Adalah raja Vajiravudh, raja berdaulat berpendidikan Inggris, yang membangun konstruksi gedung teater modern Siam. Setelah beberapa lawatannya ke Eropa, Amerika dan Jepang pada awal tahun 1900-an, beliau mendirikan sebuah gedung teater mini bergaya Barat di halaman Istana Saranrom. Gedung teater permanen pertama dibangun di Dusit Park, dan dinamakan Royal Theatre, Dusit Park. Kelak ketika beliau menjadi raja, gedung tersebut berubah menjadi National Theatre. Raja Vajiravudh, yang mencintai teater dan kesusasteraan membangun banyak gedung teater yang disatukan dengan rumah-ruamh peristirahatan musim panasnya di luar Bangkok, seperti Istana Sanam Chan di Nakhon Pathom, Istana Marukhathiwan di Hua Hin dan Istana Bang Pa dekat Ayutthaya.
Setelah revolusi 1932 dan jatuhnya monarki absolut, Departemen Seni Rupa mengambil alih National Theatre dari istana dan mendirikan akademi musik dan tari. Dengan National Theatre baru yang dibangun pada tahun 1960, pembangunan identitas Thai menjadi makin dan semakin kokoh. Ruang bagaimanapun pernah menjadi forum untuk pertunjukan kebudayaan militer dan pegawai pemerintahan. Thailand Cultural Center, yang didirikan oleh pemerintah Jepang dibuka pada tahun 1985 untuk mementaskan kebudayaan Thai di atas panggung berstandar internasional dan sekaligus membawa pertunjukan-pertunjukan berkelas internasional dari luar negeri. Dari tahun 1997, National Theatre yang telah menjadi tua, tak mampu lagi bekerja sama dengan keperluan teknis dan terpaksa ditutup untuk direnovasi. Sejak saat itu, sangat sulit sekali menyaksikan sebuah tari tradisional Thai kecuali di restoran-restoran Thai. Setelah hampir lima belas tahun berdiri, Thailand Cultural Center menjadi semakin bersifat resmi. Lebih bersifat bebas hanya sewaktu melibatkan uang, seperti untuk konser-konser pop.
Perkembangan teater kontemporer di tahun 1970 sangat banyak merupakan aktivitas dari dua universitas di Bangkok, Thammasart dan Chulalongkorn. Hanya pada tahun 1980-an, ruang-ruang swasta untuk teater kontemporer besar seperti Sala Chalermknung dan Bangkok Playhouse. Pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan di sini lebih merupakan pertunjukan-pertunjukan teater dan musik komersial.
Perpindahan
Perkembangan lain yang perlu dicatat adalah perpindahan dari ruang-ruang teater biasa menjadi ruang-ruang-ruang terbuka seperti yang disediakan oleh kedua kelompok swasta, Dance Center dan Patravadi Theatre. Pada tahun 1988, Dance Theatre mementaskan ‘The Last Silver Crane’ di lantai dasar sebuah istana tua Suan Prakad. Berikutnya pada tahun yang sama, Dance Theatre mementaskan pertunjukan serupa di lantai dasar The Siam Society, dengan dua buah rumah tradisional Thai sebagai latar belakang. Patravadi Theatre dengan Theatre Season dan Bangkok Fringe Festival-nya memiliki bermacam ruang yang dapat digunakan dalam gabungan besar termasuk sebuah teater terbuka di atas kolam renang, sebuah studio teater terbuka seperti kafe teater terbuka;. Ide tersebut mungkin merupakan hal baru bagi kota-kota Asia Tenggara seperti di Kuala Lumpur dan Singapura. Lebih dari lima tahun yang lalu The Instant Cafe Theatre mementaskan sebuah produksi besar Mid-Summer Night’s Dream di lantai dasar Carcosa, Kuala Lumpur dan di awal tahun terakhir, Five Arts Center, mementaskan teater mereka Welcome to Mrs. Yang’s 98th Birthday Party di setiap ruang dalam rumah. Unimastage di Kuching Malaysia, mementaskan sebuah produksi tari kontemporer River di Kuching Waterfront, dengan empat puluhan seniman tari, menggunakan kedua sisi Sungai Kuching dan dua buah perahu dengan lilin yang menyala menyeberangi sungai menuju penonton dan bergabung dengan mereka.
Sebenarnya, konsep ruang terbuka atau gedung teater terbuka bukanlah hal yang baru bagi drama Asia bahkan drama Yunani. Barangkali kita juga telah terperangkap dengan ide untuk memiliki sebuah ruang teater murni, sebuah pemandangan yang diformalisasikan dan dikontrol. Tanpa menyadarinya, kita sebenarnya telah membatasi ruang-ruang pertunjukan, teknik, gaya, genre dan juga kelompok-kelompok teater dan penonton. Pembukaan beragam ruang untuk pertunjukan di Bangkok akhir-akhir ini misalnya telah membuncahkan cahaya pertaruhan artistik baru.
Menembus Batasan-batasan
Maradox Mai Black Box Theatre, telah memberikan kesempatan pada ide-ide dan kelompok-kelompok teater baru seperti produksi terbaru This Is My Life-I Love You yang dapat dikatakan merupakan pertunjukan musikal gay yang pertama di Bangkok, berlangsung di bawah pengaruh obat-obatan dan pertunjukan-pertunjukan go-go di Pat Pong di Bangkok. Gedung teater kecil ini tidak memberikan muatan apapun pada kelolmpok teater dan hanya muatan minimal untuk penonton. Sebuah organisasi nirlaba independen About Art Related Activities Gallery and Cafe; telah mengkurasi dan mementaskan bermacam pementasan, diskusi dan pertunjukan seni. Selaan dari menjadi sebuah galeri, ruang tiga tingkat tersebut menawarkan kafe galeri; di lantai pertama, ruang pameran dan pertunjukan di lantai dua dan pertunjukan-pertunjukan di lantai tiga. Sebenarnya galeri ini tidak berkaitan dengan ruang-ruang yang tetap untuk kegiatan-kegiatan spesifik. Mereka telah mementaskan pertunjukan-pertunjukan gaya jalanan di lantai dasar dan dua, band-band alternatif di lantai dasar dan pertunjukan-pertunjukan teater tari di lantai dua pada malam yang sama. Dengan semacam gabungan pemograman, kita dapat melihat apap yang disebut kebudayaan tinggi berpadu dan berbaur dengan kebudayaan populer dalam ruang dan waktu yang sama. Mungkin hal ini hanya bisa terjadi dalam sebuah masyarakat biasaa, di amana kelas-kelas sosial, kekayaan dan kekuasaan tidak terlibat.
Pada bulan Juni 1999, Patravadi Theatre dan Cetral Chidlom Departemen Store menembus batasan lain dengan bekerja sama mensponsori The Contemporary Thai Festival yang menampilkan pertunjukan-pertunjukan tari, musik dan teater kepada para pembeli dan pecinta teater dalam kompleks perbelanjaan. Mereka mengubah salah satu sudut kompleks tersebut untuk menjadi ruang teater dengan sebuah panggung mini dan tempat duduk untuk penonton. Pada zaman dahulu, orang-orang selalu menyaksikan kegiatan-kegiatan semacam ini sebagai sebuah perayaan komersial tapi dengan perlakuan yang sungguh-sungguh dari ruang dan pertunjukan, ruang komersial seperti ini dapat berubah menjadi sebuah ruang kebudayaan, artistik dan perayaan.
Ruang politik, ritual dan budaya yang merupakan wilayah tempat tinggal di depan kamar kepala suku dalam rumah panjang, dapat berubah menjadi ruang komersial ketika para wisatawan diterima untuk sebuah kunjungan rumah dalam waktu yang sama. Ruang yang sama ini telah menyaksikan hilangnya pertunjukan-pertunjukan budaya dan ritual lama dapat dipentaskan ulang untuk pertunjukan hiburan, kesenangan dan apresiasi para wisatawan. Pada saat yang sama hal ini menawarkan kesempatan untuk melestariakn kebudayaan mereka sendiri.
Kelompok-kelompok teater yang lebih avant-garde seperti Asia Theatre Research, Arts Vision dan Theatre Workshop di Singapura dan Five Art Centre di Kuala Lumpur, secara konstan mencari ruang non-konvensional, bukan sekedar bermaksud untuk melulu pindah dari ruang-ruang biasa tapi untuk berbagai alasan lainnya seperti sewa yang lebih murah. Ruang-ruang alternatif bukan tidak pasti lebih mudah menyesuaikan dengan dari administratif, artistik dan sudut-sudut pandang teknis, namun yang pasti menciptakan tantangan-tantangan sekaligus menciptakan publisitas dan kesadaran.
Merengkuh Komunitas
Sarawak di Malaysia Timur terdiri dari 33 kelompok etnis. Kuching sebagai kota, dekat sungai Sarawak, didirikan oleh James Brooke pada tahun 1840 sekarang telah menajdi perpaduan antar bangunan kolonial Inggris, tradisional dan Malaysia modern. Kuching Waterfront, tempat orang-orang, kaki lima yang terletak satu kilometer di sebelah kanan bank Kuching River, dikenal karena perpaduan desain modern dan etnis kontemporer, memenangkan beberapa penghargaan internasional untuk desain-desainnya yang menggambarkan termasuk perjalanan sejarah, seri-seri pahatan arsitektur tradisional, tempat bermain, kafe-kafe, taman-taman, patung-patung tradisional dan modern serta amphiteater. Ia benar-benar merupakan ruang komunitas. Dengan kenangan-kenangan dari ruang masa lalu kolonial, ruang komunitas secara konstan membawa bersama-sama kebudayaan tradisional dan beragam kelompok etnis demikian juga kebudayaan konser-konser rock, rap, jazz dan pop.
Di Singapura yang kosmopolitan, yang tengah mempersiapkan dirinya untuk menjadi poros kegiatan budaya Asia Tenggara, The National Arts Council mengeluarkan program lainnya, seni pertunjukan bagi komunitas tempat tinggal di flat-flat Housing Development Board (HDB). Sebenarnya, ini sekedar merupakan program di luar jangkauan, namun kini menajdi program khusus. Mereka telah mempergelarkan berbagai pertunjukan dari opera Cina, bangsawan, tari India dan teater-teater modern.
Singapura telah memainkan peranan sebagai ruang penting bagi seni, budaya dan pasar-pasar dalam masa modern sejak Sir Stamford Raffles menciptakan konser kota gerbang pelabuhan bagi Singapura. Pada tahun-tahun terakhir, The Singapore Tourism Board telah menekankan penemuan budaya dengan konsep “Singapore Asia Baru” dan “Poros Kebudayaan Asia.” The National Arts Council dengan keberhasilan Singapore Art Festival, baru-baru ini menelurkan The Esplanade, gedung teater baru di atas teluk, memfasilitasi untuk pendirian kelompok-kelompok seni. Ruang-ruang yang ditata non-konvensional seperti The Substantion, telah menciptakan banyak ide menarik. Memamerkan kepada publik Singapura berbagai tipe ekspresi, tidak hanya kebudayaan tinggi opera, balet dan orkestra simfoni tapi juga mempromosikan Opera Cina, bangsawan, Joget, Bharatam Natyam dalam komunitas multi budaya. Bantuan-bantuan, pengahargaan-penghargaan dan ruang-ruang telah diberikan kepada para seniman oleh The National Arts Board, termasuk pertunjukan yang diberangkatkan pada sebuah festival internasional, tapi akankah secara nasional penulis naskah terkenal akan mampu memproduksi karya-karya kontroversial, karya-karya tentang rumah masa lampau multi budaya? Baru-baru ini Action Theatre memproduksi pertunjukan tentang HIV positif dengan seorang pemain yang betul-betul menderita HIV positif di atas panggung dan hal itu telah menarik perhatian pers internasional, mengutip bahwa Singapura telah dibesarkan dari citra negara pengasuhnya. Apakah betul? Atau hanya sekedar publisitas yang bertujuan mengalihkan pada pembukaan The Esplanade dan menutupi rumor-rumor bahwa festival seni tahun ini adalah sebuah pukulan dengan sebungkah produksi koreksi politis. Barangkali penonton telah menjadi semakin berpengetahuan, lebih berpengalaman dan lebih menuntut setelah bertahun-tahun memperhatikan program-program festival.
Pemerintah Singapura juga telah menyadari kesuksesan pihak-pihak swasta yang membawa konser-konser musik dan pop Barat dan kemampuan mereka menarik perhatian para penonton dari daerah. Membuat Singapura sebagai tujuan wisatawan untuk tujuan kebudayaan karena tinggi sekaligus populer. Kita mungkin akan terheran-heran tentang apa yang akan terjadi pada ruang-ruang pertunjukan saat ini, jika Esplanade selesai.
Mempertanyakan Ruang
Kita mungkin berkata bahwa teater kontemporer di Thailand tidak mendapat perhatian sedikitpun dari pemerintah Thai yang merupakan satu-satunya lembaga yang mepromosikan tari dan teater tradisional Thai untuk para wisatawan atau bentuk-bentuk seni pertunjukan modern Barat untuk masyarakat kelas atas. Ini adalah kasus yang berbeda di Malaysia di mana pemerintah memilih untuk mempromosikan tari-tari rakyat dan sandiwara-sandiwara Melayu, membiarkan di sisi seni klasik kewajiban untuk alasan-alasan politik dan keagamaan. Hasilnya bentuk-bentuk seni tradisional klasik akan punah. Barangkali orang akan merasa iri pada Indonesia, di mana pemerintah juga tidak hanya mempromosikan tapi juga menekankan dalam pendidikan. Mungkin kita seharusnya tak mengeluh tentang tidak mendapatkan ruang apapun dari pemerintah. Selalu ada biaya untuk membayar apa yang Anda minta. Kesenian seharusnya berada di tangan-tangan yang tepat, tapi tidak ada ruang-ruang yang benar atau salah. Setiap ruang memiliki puisi artistik, makna, kekuatan dan kenangannya sendiri.
Sebenarnya terdapat banyak pertanyaan pada diri kita sendiri, seperti makna seni kontemporer dalam relasinya dengan ruang-ruang, apa peran bentuk-bentuk klasik dan tradisi dan kemanakah kita melangkah sekarang? Sangat sering, di dalam kesenian kita mencoba membangun superioritas untuk bentuk-bentuk seni kita sendiri, yang mana melibatkan kita dalam politik-politik sponsorship dan penciptaan ruang. Misalnya, kita mulai sebagai sebuah kelompok tari: lalu menjadi kelompok tari kerajaan. Kelak kita membangun sebuah ruang teater raksasa – dan ini pada akhirnya membatasi kita dari ruang itu dan penontonnya. Lalu muncul kelompok-kelompok lainnya yang mencoba menyelaraskan diri mereka ke dalam ruang-ruang di antara ruang-ruang resmi. Saya kira kita harus ingat bahwa selagi kita mencoba menemukan jawaban-jawaban, menembus batasan-batasan dan merengkuh komunitas, kita juga mesti secara konstan membangun ruang-ruang budaya yang baru.
Friday, February 19, 2010
Politik Ruang 2010
Badan-badan tersebut, biar pun apa namanya sama ada Aswara, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), Istana Budaya atau Balai Seni Lukis Negara (BLSN) sentiasa berusaha menempatkan dirinya sebagai pusat aktiviti dan perkembangan seni. Mereka gembira tokoh-tokoh yang kritis berkhidmat, sekali gus berada bawah naungan mereka dengan mulut berkunci dan tangan bergari. |
Friday, February 12, 2010
Understanding the Protest
Protest art refers to the signs, banners, and any other form of creative expression used by activists to convey a particular cause or message. It is a visual action taken by social activists to make a point clear. Protest art is also used to with the intention to promote counter-thinking about the fabric of society itself. Often such art is used as part of demonstrations or acts of civil disobedience. Some key icons in protest art have been the dove, the peace symbol, and taunting messages.
Protest art relies on people's understanding of the symbols used in the art. Without understanding the piece is useless.
While some protest art is associated with trained and professional artists, an extensive knowledge in art is not required to take part in protest art. The most important part of protest art is element of social activism. Therefore, protest art requires most importantly a cause or an issue. Protest art can take on the form of a simple sign displaying a social message of displeasure or a large banner expressing discontent with something in particular or in general.
Often protest artists bypass the "artworld institutions and commercial gallery system" in an attempt to reach a wider audience through means that are most accessible to them. Instead of creating social activist art and displaying them only in art galleries where access is restricted to the "economically privileged", protest artists are trying to ensure their message reaches the largest number of people. Furthermore, protest art is not limited to one region or country but is rather a social activism method that is used around the world. For example, artists in South Africa during the 1990s created art using a range of media that explored memories of an integrated community that was once the heart of Cape Town.
There are many politically charged pieces of fine art - such as Picasso's Guernica, some of Norman Carlberg's Vietnam war-era work, or Susan Crile's images of torture at Abu Ghraib - which could perhaps be termed "protest art", except that they lack the easy portability and disposability often associated with protest art.
It is difficult to establish a history for protest art because many variations of it can be found throughout history. While many cases of protest art can be found during the early 1900s, like Picasso's Guernica in 1937, the last thirty years has experienced a large increase in the number of artists adopting protest art as a style to relay a message to the public.[edit]History
As awareness of social justices around the world became more common among the public, an increase in protest art can be seen. Some of the most critically effective artworks of the recent period were staged outside the gallery, away from the museum and in that sense, protest art has found a different relationship to the public.
[edit]Activist art
Activist art represents and includes aesthetic, sociopolitical, and technological developments that have attempted to challenge and complicate the traditional boundaries and hierarchies of culture as represented by those in power. Like protest art, activist art practice emerged partly out of a call for art to be connected to a wider audience, and to open up spaces where the marginalized and disenfranchised can be seen and heard.
Activist art incorporates the use of public space to address socio-political issues and to encourage community and public participation as a means of bringing about social change. It aims to effect social change by engaging in active processes of representation that work to foster participation in dialogue, raise consciousness, and empower individuals and communities. The need to ensure the continued impact of a work by sustaining the public participation process it initiated is also a challenge for many activist artists. It often requires the artist to establish relationships within the communities where projects take place.
If social movements are understood as “repeated public displays” of alternative political and cultural values[1], then activist art is significant in articulating such alternative views. Activist art is also important to the dimension of culture and an understanding of its importance alongside political, economical, and social forces in movements and acts of social change. One should be wary of conflating activist art with political art, as doing so obscures critical differences in methodology, strategy, and activist goals.
[edit]Historical basis in art and politics
Activist art cites its origins from a particular artistic and political climate. In the art world, performance art of the late 1960s to the 70s worked to broaden aesthetic boundaries within visual arts and traditional theatre, blurring the rigidly construed distinction between the two. The transient, interdisciplinary, and hybrid nature of performance art allowed for audience engagement. The openness and immediacy of the medium invited public participation, and the nature of the artistic medium was a hub for media attention.
Emerging forms of feminism and feminist art of the time was particularly influential to activist art. The idea that “the personal is the political”, that is, the notion that personal revelation through art can be a political tool[2] , guided much activist art in its study of the public dimensions to private experience. The strategies deployed by feminist artists parallel those by artists working in activist art. Such strategies often involved “collaboration, dialogue, a constant questioning of aesthetic and social assumptions, and a new respect for audience” and are used to articulate and negotiate issues of self-representation, empowerment, and community identity.
Conceptual Art sought to expand aesthetic boundaries in its critique of notions of the art object and the commodity system within which it is circulated as currency. Conceptual artists experimented with unconventional materials and processes of art production. Grounded by strategies rooted in the real world, projects in conceptual art demanded viewer participation and were exhibited outside of the traditional and exclusive space of the art gallery, thus making the work accessible to the public. Similarly, collaborative methods of execution and expertise drawn from outside the art world are often employed in activist art so as to attain its goals for community and public participation. Parallel to the emphasis on ideas that conceptual art endorsed, activist art is process-oriented, seeking to expose embedded power relationships through its process of creation.
In the political sphere, the militancy and identity politics of the period fostered the conditions out of which activist art arose.
[edit]Strategy and practice
In practice, activist art may often take the form of temporal interventions, such as performance, media events, exhibitions, and installations. It is also common to employ mainstream media techniques (through the use of billboards, posters, advertising, newspaper inserts…etc.). By making use of these commercial distributive channels of commerce, this technique is particularly effective in conveying messages that reveal and subvert its usual intentions.
The use public participation as a strategy of activating individuals and communities to become a “catalyst for change” is important to activist art. In this context, participation becomes an act of self-expression or self-representation by the entire community. Creative expression empowers individuals by creating a space in which their voices can be heard and in which they can engage in a dialogue with one another, and with the issues in which they have a personal stake.
The Artist and Homeless Collaborative is an example of a project that works with strategies of public participation as a means of individual and community empowerment. It is an affiliation of artists, arts professionals and women, children and teenagers living in NYC shelters, the A & HC believe that their work in a collaborative project of art-making offers the residents a “positive experience of self-motivation and helps them regain what the shelter system and circumstances of lives destroy: a sense of individual identity and confidence in human interaction.”[3] The process of engaging the community in a dialogue with dominant and public discourses about the issue of homelessness is described in a statement by its founder, Hope Sangrow: “The relevancy of art to a community is exhibited in artworks where the homeless speak directly to the public and in discussion that consider the relationship art has to their lives. The practice of creating art stimulates those living in shelters from a state of malaise to active participation in the artistic process”[4]
The A & HC came into being at a time when a critique of the makers, sellers, and consumers of art that addressed social concerns became increasingly pronounced. Critics argued that the very works of art whose purpose was to provoke political, social and cultural conversation were confined within the exclusive and privileged space of galleries museums, and private collections. By contrast, the A & HC was an attempt to bridge the gap between art production and social action, thus allowing for the work subjects that were previously excluded and silenced to be heard.
[edit]Resistance art
Resistance art has long been a term used to describe those that use art as a way of showing their opposition to powerholders. The term has been used to define art that opposed such powers as the German Nazi party, and the Bolshevik Revolution. The term most recently has been applied to artists opposed to apartheid in South Africa. Willie Bester is one of South Africa's most well known artists who originally began as a resistance artist. Using materials assembled from garbage, Bester builds up surfaces into relief and then paints the surface with oil paint. His works commented on important black South African figures and aspects important to his community. South African resistance artists do not exclusively deal with race nor do they have to be from the townships. Another artist, Jane Alexander, has dealt with the atrocities of apartheid from a white perspective. Her resistance art deals with the unhealthy society that continues in post-apartheid South Africa.
[edit]References
- ^ Reed, T.V., The art of protest : culture and activism from the civil rights movement to the streets of Seattle. (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2005) xiv.
- ^ Suzanne Lacy, ed. Mapping the Terrain: New Genre Public Art. (Seattle: Bay Press Inc., 1995) 27
- ^ Wolper,Andrea. Making Art, Reclaiming Live: The Artist and Homeless Collaborative. (Seattle: Bay Press Inc., 1995) 252-253
- ^ Wolper,Andrea. Making Art, Reclaiming Live: The Artist and Homeless Collaborative. (Seattle: Bay Press Inc., 1995) 253
[edit]Further reading
- Felshin, Nina. But Is It Art? The Spirit of Art as Activism. Seattle: Bay Press Inc., 1995.
- Lacy, Suzanne. Mapping the Terrain: New Genre Public Art. Seattle: Bay Press Inc., 1995.
- Muller, Mary Lee ; Elvehjem Museum of Art. Imagery of dissent : protest art from the 1930s and 1960s : March 4 - April 16, 1989, Elvehjem Museum of Art, University of Wisconsin–Madison (Madison, Wis. : The Museum, ©1989) ISBN 0-932900-20-8 (exhibition devoted to two periods of intensely political protest art: the Spanish Civil War and America's Vietnam War)
- Perry, Gill, and Paul Wood, eds. Themes in Contemporary Art. New Haven: Yale University Press, 2004.
- Reed, T.V. The art of protest : culture and activism from the civil rights movement to the streets of Seattle. Minneapolis: University of Minnesota Press, 2005.
- Robertson, Jean. "Themes of Contemporary Art - Visual Art after 1980". New York: Oxford University Press, Inc. 2005.
- Wolper, Jean. "Making Art, Reclaiming Lives: The Artist and Homeless Collaborative." But is it Art? The Spirit of Art as Activism. Ed. Nina Felshin. Seattle: Bay Press Inc., 1995.